Contoh Makalah PAI Universitas BSI
Makalah PAI bsi
Kontroversi Islam di indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar
Belakang Masalah
Setidaknya ada dua segi yang
menyebabkan terjadinya perbedaan-perbedaan dalam pemikiran Islam. Segi yang
pertama ialah bahwa wahyu itu sendiri, baik Al-Qur’an maupun hadis, secara
redaksional mengandung kemungkinan dipahami secara berbeda dan sikap Nabi
Muhammad SAW. selaku pembawa wahyu yang tidak jarang mentoleransi
perbedaan-perbedaan tersebut. Sedang segi yang kedua, adalah bahwa banyak
faktor yang dapat mempengaruhi cara berpikir seseorang. Faktor-faktor tersebut,
antara lain, adalah sejarah (pengalaman) masa lampau, pendidikan/informasi yang
diserap, kondisi dan lingkungan hidup, dan lain-lain, yang dialami seseorang.
Pemikiran Islam meliputi bidang yang
sangat luas, tidak hanya menyangkut bidang agama, tapi juga selainnya. Hal ini
dapat dipahami mengingat Al-Qur’an memang meliputi berbagai hal. Ayat- ayatnya
senantiasa memberikan inspirasi terhadap bidang-bidang yang amat luas tersebut,
bahkan terhadap semua bidang kehidupan manusia. Tentu, karena luasnya bidang
kehidupan manusia, dan karena Al-Qur’an bersifat inspiratif terhadapnya, maka
dalam lingkungan pemikiran Islam, perbedaan-perbedaan pendapat merupakan
fenomena yang akan terus berkelanjutan.
selengkapnya document nya bisa lihat di bawah ini ;
Sangat mungkin guna mengatasi
perbedaan-perbedaan tersebut, kalangan pakar Muslim mengambil inisiatif dan
menempuh langkah-langkah ilmiah dengan memilah-milah teks wahyu (ajaran Islam)
kepada teks (ajaran) yang sudah sangat jelas dan pasti pengertiannya–sehingga
peluang interpretasi terhadapnya tidak lagi dimungkinkan–dan teks (ajaran) yang
peluang interpretasi terhadapnya senantiasa terbuka. Atau, pemilahan ajaran
Islam kepada ajaran yang bersifat ushuliyah (ushul al-din/pokok-pokok agama)
dan yang bersifat furu’iyah (masalah furu’/cabang). Dari pemikiran serupa itu, kita
mengenal istilah qath’iy al-dalalah dan zhanniy al-dalalah, demikian pula
istilah ijma’ (konsensus/sesuatu yang telah disepakati para ulama), dalam
lingkungan pakar ilmu ushul fikhi. Para pakar ushul fikhi juga membuat
pengelompokan ayat-ayat Al-Qur’an dilihat dari segi jelas-tidaknya makna
ayat-ayat tersebut.
Pengelompokan tersebut, mulai dari
yang terlemah sampai yang terkuat kejelasan maknanya, berturut-turut mereka
sebut al-zhahir, al-nash, al-mufassar, dan al-muhkam. Dengan pengelompokan
demikian, pakar ushul fikhi membangun suatu piramida Zahir-Muhkam. Artinya,
lafaz-lafaz Al-Qur’an yang termasuk dalam kelompok al-zhahir, karena berada
pada bagian terbawah dari piramida, adalah yang terlemah kejelasan maknanya
dibanding dengan tiga yang lainnya. Sedang lafaz-lafaz Al-Qur’an yang termasuk
dalam kelompok al-muhkam, karena ditempatkan pada bagian teratas dari piramida,
adalah yang terkuat kejelasan maknanya dibanding dengn tiga yang lainnya.
Birr al-walidain (berbuat baik
kepada kedua orang tua), al-‘adl(keadilan), ‘ibadah Allah wahdah (beribadat
kepada Allah semata), dan lain-lain adalah sedikit contoh yang sering kali
dikemukakan sebagai kandungan makna dari nash-nash yang muhkam. Sekalipun
ayat-ayat muhkam dapat dikatakan mengandung ide-ide universal yang dapat
dipahami, namun ternyata ulama tidak selalu sepakat tentang ayat mana saja yang
muhkam. Satu atau beberapa ayat dapat dipandang sebagai ayat muhkam oleh ulama
tertentu, namun ulama lainnya tidak memandangnya sebagai ayat muhkam.
Seiring dengan itu, hal serupa
terjadi pada hal-hal yang dinilai sebagai qath’iy al-dalalah atau merupakan
ijma oleh ulama lainnya. Sehingga, apa yang dipandang sudah qath’iy, boleh jadi
ia menjadi zhanniy pada pandangan tertentu. Begitu pula, apa yang dinyatakan
sebagai ijma, ternyata ketika tiba pada suatu masa, para ulama pada masa
tersebut tidak bersepakat dengan yang dipandang ijma tersebut.. Dalam khazanah
pemikiran Islam, kenyataan-kenyataan demikian dapat ditemukan dan bukan
merupakan sesuatu yang asing. Apa yang telah dikemukakan di atas telah menjadi
khazanah kekayaan umat Islam, yang pada masa sekarang, berinteraksi dengan
corak pemikiran Islam yang tidak lagi sepenuhnya persis sama dengan khazanah
pemikiran masa-masa sebelumnya.
I.2 Batasan
Masalah
Dalam makalah ini penulis akan
membahas tentang awal perkembangan pemikiran Islam sampai bentuk-bentuk
pemikiran islam yang kontroversional.
1.3 Tujuan
Penulisan
1.
Untuk memenuhi Ujian Akhir Semester
2.
Menambah wawasan tentang Pemikiran Islam di Indonesia
3.
Memberikan pengetahuan kepada pembaca agar tidak
terseret kedalam pemikiran islam yang melenceng
1.4 Sistematika
Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Batasan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
1.4 Sistematika Penulisan
BAB II KONTROVERSI PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA
2.1 Perkembangan Pemikiran Islam
2.2 Neo-Modernisme dan Fundamentalisme
2.3 Kontroversi Sekularisme Islam
2.4 Pemikiran Islam Liberal
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
KONTROVERSI
PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA
2.1 Perkembangan
Pemikiran Islam
2.1.1 Epistemologi
Ilmu pengetahuan dan teknologi yang
hingga saat ini menjadi kunci yang paling mendasar dari kemajuan yang diraih
umat manusia, tentunya tidak datang begitu saja tanpa ada sebuah dinamika atau
diskursus ilmiah. Proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan lazim dikenal
dengan epistemologis.
Bidang
epistemologis ini menempati posisi yang sangat strategis, karena ia
membicarakan tentang cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Mengetahui
cara yang benar dalam mendapatkan ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan hasil
yang ingin dicapai yaitu berupa ilmu pengetahuan. Pada kelanjutannya kepiawaian
dalam menentukan epistimologis, akan sangat berpengaruh pada warna atau jenis
ilmu pengetahuan yang dihasilkan. Secara umum epistemologi dalam Islam memiliki
tiga kecenderungan yang kuat, yaitu bayani, irfani, dan burhani :
- Epistemologi Bayani
Epistemologi
bayani adalah epistemologi yang
beranggapan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah wahyu [teks] atau penalaran
dari teks. Ilmu-ilmu keislaman seperti hadis, fikih, ushul fikih, dan lainnya,
menggunakan epistemologis ini. Epistemologis bayani merupakan suatu cara untuk
mendapatkan pengetahuan dengan berpijak pada teks, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Secara langsung dalam arti langsung menganggap teks
sebagai pengetahuan jadi, dan secara tidak langsung yaitu dengan melakukan
penalaran yang berpijak pada teks ini. Dengan kata lain sumber pengetahuan
menurut epistemologi ini adalah teks, atau penalaran yang berpijak pada teks.
2.
Epistemologi Irfani
Epistemologi
irfani adalah epistemologi yang
beranggapan bahwa ilmu pengetahuan adalah kehendak [irodah]. Epistemologi ini
memiliki metode yang khas dalam mendapatkan pengetahuan, yaitu kasyf. Metode
ini sangat unique karena tidak bisa dirasionalkan dan diperdebatkan.
Epistemologi ini benar-benar sulit dipahami, karena sifatnya yang tidak bisa
diverifikasi dan didemonstrasikan. Epistemologi ini lebih mengandalkan pada
rasa individual, daripada penggambaran dan penjelasan, bahkan ia menolak
penalaran. Penganut epistemologi ini adalah para sufi, oleh karenanya
teori-teori yang dikomunikasikan menggunakan metafora dan tamsil, bukan dengan
mekanisme bahasa yang definite.
3.
Epistemologi Burhani
Epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan
bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah akal. Akal menurut epistemologi ini
mempunyai kemampuan untuk menemukan berbagai pengetahuan, bahkan dalam bidang
agama sekalipun akal mampu untuk mengetahuinya, seperti masalah baik dan buruk
[tansin dan tahbih].
Epistemologi burhani ini dalam bidang
keagamaan banyak dipakai oleh aliran berpaham rasionalis seperti Mu’tazilah.
Ibnu kholdun menyebut epistemologi ini dengan ulum al-aqliyyah [knowledge
by intellect]. Tokoh pendiri epistemologi ini adalah Aristoteles. Karena
epistemologi ini lebih berpijak pada tradisi berpikir yunani, maka ciri
utamanya adalah penggunaan akal secara maksimal.
Ketiga, kecenderungan
epistemologis Islam di atas, secara teologis mendapatkan justifikasi dari
al-Qur’an. Dalam al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang berbicara tentang
pengetahuan yang bersumber pada rasionalitas. Perintah untuk menggunakan akal
dengan berbagai macam bentuk kalimat dan ungkapan merupakan suatu indikasi yang
jelas untuk hal ini. Akan tetapi meski demikian tidak sedikit pula paparan
ayat-ayat yang mengungkap tentang pengetahuan yang bersumber pada intuisi [
hati atau perasaan] terdalam.
Perpaduan
antara pikiran yang brilian yang dipadu dengan hati yang jernih, akan
menjadikan Iptek yang dimunculkan kelak tetap terarah tanpa menimbulkan
dehumanisasi yang menyebabkan manusia teralienasi [terasing] dari
lingkungannya. Kegersangan yang dirasakan oleh manusia modern saat ini, karena
Iptek yang mereka munculkan hanya berdasarkan atas rasionalitas belaka, dan
menafikan hati atau perasaan yang mereka miliki. Mereka menuhankan Iptek atas
segalanya, sedang potensi rasa [ jiwa ] mereka abaikan, sehingga mereka merasa
ada sesuatu yang hilang dalam diri mereka. Keseimbangan antara pikiran [fikr] dan rasa [dzikr] ini menjadi
penting karena secanggih apapun manusia tidak dapat menciptakan sesuatu.
Keduanya adalah pilar peradaban yang tahan bantingan sejarah. Keduanya adalah
perwujudan iman seorang muslim. Umat yang berpegang kepada kedua pilar
ini disebut al Qur’an sebagai ulul albab. Mereka,
disamping mampu menintegrasikan kekuatan fikr dan dzikr, juga mampu pula mengembangkan kearifan yang
menurut al Qur’an dinilai sebagai khairan katsiran. Perpaduan antara pikiran
dan rasa ini merupakan prasyarat mutlak dalam membangun peradaban Islam dan
dunia yang cemerlang.
Dalam
ungkapan Iqbal bahwa fikr dan dzikr
atau ‘aqal dan ‘isyq harus
diintegrasikan secara mantap bila mau membangun peradaban modern yang segar.
Sesuatu yang tentunya sangat diidamkan oleh umat manusia, dan disinilah
semestinya peran yang harus dimainkan umat Islam untuk memberikan kontribusinya
bagi peradaban umat manusia secara keseluruhan.
2.1.2. Awal Perkembangan
Pemikiran Islam
Proses pembentukan pemikiran itu
diawali dengan peritiwa-peristiwa, misalnya ada persentuhan pendapat, agama,
kebudayaan atau peradaban antara satu dengan lainnya. Persentuhan tersebut
terkadang menimbulkan bentrokan atau akulturasi bahkan tidak jarang terjadi
asimulasi. Proses perkembangan pemikiran muslim, terdapat dalam tiga fase dan
erat kaitannya dengan sejarah Islam.
Pertama, akibat adanya pergolakan
politik pada masa kekhalifahan Ali, menimbulkan perang Shiffin [antara Ali dan
Muawiyah] dan perang Jamal [antara Ali dan Aisyah]. Adanya kasus perang ini
menjadi faktor utama munculnya golongan Khawarji. Pergolakan politik itu
diruncingkan oleh adanya pendapat Khawarij, bahwa orang-orang yang terlibat
dalam perang Shiffin dan Jamal adalah berdosa besar dan kafir. Menetapkan Ali
sebagai kafir sangat ditentang oleh sekelompok muslim yang selanjutnya disebut
Syi’ah, sehingga terjadilah pertentangan hebat antara sesama muslim. Dalam
setiap kemelut yang tidak menyenangkan itu, muncul sekelompok muslim yang
berusaha menjauhkan diri dan tidak ingin melibatkan diri dengan selisih
pendapat tersebut, bahkan ada pula sekelompok muslim yang tidak ingin
menyalahkan orang lain atau kelompok lainnya; namun dalam itu sempat
pula mereka mengeluarkan faktanya bahwa segala hukum perbuatan manusia
yang belum jelas nashnya, ditangguhkan hukumnya sampai diakhirat kelak. Mereka
itu kelompok Murji’ah.
Kedua, akibat ekspansi Islam ke
Barat sampai ke Spanyol dan Perancis, ke Selatan sampai ke Sudan, Ethiopia dan
seterusnya, ke Timur sampai India dan seterusnya. Dan ke Utara sampai ke Rusia.
Ekspansi yang dilakukan oleh Islam, ternyata tidak hanya berdampak pada
penyebaran ajaran saja, tetapi juga semakin memperkaya khazanah kebudayaan Islam.
Hal ini dikarenakan akulturasi budaya Arab-Islam dengan budaya-budaya lokal
daerah yang ditaklukkan. Salah satu budaya tau tradisi yang pada akhirnya
banyak terserap dan teradopsi oleh Islam adalah tradisi Yunani dan
Hellenistiknya yang bersifat spekulatif. Perembesan budaya ini disamping karena
interaksi kaum muslimin dengan orang-orang yang mempelajari tradisi spekulatif
Yunani, juga karena penerjemahan secara besar-besaran khazanah intelektual
Yunani ke dalam bahasa Arab pada masa Abbasiyyah.
Ketiga, akibat
adanya perubahan masyarakat dari masyarakat Tradisional menjadi masyarakat
modern, dari pandangan cakrawala berpikir yang regional menjadi yang lebih luas
lagi. Kehidupan pribadi makin lama makin kompleks, menimbulkan masalah-masalah
baru yang memerlukan pemecahan.
Ketiga faktor di atas memberikan
pengaruh kuat bagi pertumbuhan dan perkembangan pemikiran dalam Islam, di
samping tentu saja banyaknya sugesti berupa ayat-ayat yang menganjurkan tentang
pengembangan kemampuan berpikir. Ada banyak ayat dalam al Qur’an yang baik
secara langsung maupun tidak mendesak manusia untuk berpikir, merenung atau
bernalar.
2.2 Neo-Modernisme dan
Fundamentalisme
Neo-modernisme adalah corak
pemikiran baru yang di motori oleh Fazlur Rahman. Ungkapan yang paling
monumental dari Fazlur Rahman adalah “pemisahan Islam normatif danIslam
historis”, Islam normatif menurut beliau adalah al-Quran dan Hadits yang
bersifat dinamisdan humanis, sedangkan Islam historis adalah ajaran-ajaran
Islam yang telah bercampur-aduk dengan pemikiran atau interpretasi manusia.
Paradigma berpikir ini memang tidak tumbuh dalam ruang hampa, tetapi
dipengaruhi oleh sosio-kultural yang mengitari di mana Fazlur Rahman hidup
(Pakistan dan Amerika).
Paradigma berpikir ini lahir sebagai
counter terhadap pemikiran Islam yang eksklusif, corak utama dalam
pemikiran ini antara lain:
- Pemahaman Islam secara menyeluruh dan utuh,
- pemahaman terhadap al-Quran dan Hadits harus lah
sistematis, rasional dan komperhensip
- penolakan formalisme agama dan pemanfaatan agama untuk
tujuan politik.
Oposisi biner neo-modernisme
adalah fundamentalisme. Corak pemikiran fundamentalism antara lain:
- Memahami agama secara literlek,
- kaku terhadap perubahan,
- pemahaman parsial terhadap agama.
Ahmad Abdul Aziz, penulis buku
“Neo-Modernisme Islam Di Indonesia”,mengklasifikasikan Nurcholis Madjid sebagai
seorang yang mempunyai corak pemikiran neo-modernisme.
2.3 Kontroversi Sekularisme
Islam
Kontroversi yang muncul dengan
sangat populer telah menimbulkan polemik besar yang cukup berkepanjangan
dikalangan intelektual Muslim di belahan dunia Islam. Akibat polemik tersebut
muncul dua kelompok dikotomis dengan sederet tokoh intelektual pendukungnya.
Kelompok pertama disebut kelompok konservatif, suatu kelompok yang menentang
keras sekularisasi yang dianggap identik dengan sekularisme. Kelompok kedua
disebut kelompok reformis, suatu kelompok yang menolak sekularisasi sebagai
suatu paham tertutup yang anti agama. Menurut kelompok reformis ini,
sekularisasi diartikan sebagai upaya pembebasan masyarakat dari kehidupan magis
dan takhayul dengan melakukan desakralisasialam. Polemik sekularisasi dalam
dunia Islam juga tidak luput melanda Indonesia yang notabene merupakan Negara
dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Dengan sederetan intelektual muslim,
baik yang pro terhadap sekularisasi, maupun yang menolak sekularisasi,
satu-sama lain berbeda pandangan dalam mendifinisikan sekularisasi.
Nurcholis Madjid misalnya, melihat
sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme (ideologi),
tetapi bentuk perkembangan yang membebaskan (liberating develofment). Proses
perkembangan ini diperlukan umat Islam karena akibat perjalanan agamanya,
mereka tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai Islam, yakni mana yang
transsendental dan mana yang temporal. Oleh karena itu sekularisasi menjadi
keharusan bagi umat Islam.
Sementara itu, cendekiawan Muslim
lainnya seperti HM. Rasyidi misalnya, Secara umum pandangan HM. Rasyidi tentang
sekularisasi merupakan tanggapan bahkan kecaman yang paling ekstrem kepada
pemikiran sekularisasi Nurcholish Madjid. Menurut Rasyidi, belum ada dalam
sejarah bahwa istilah sekularisme atau sekularisasi tidak mengandung prinsip
pemisahan antara persoalan dunia dengan agama. Sekularisasi, menurut Rasyidi,
bisa membawa pengaruh merugikan bagi Islam dan umatnya. Karena itu, keduanya
(sekularisasi dan sekularisme) harus dihilangkan. Memang benar pemikiran
baru bisa menimbulkan dampak positif untuk membebaskan umat dari kebodohan,
namun penggunaan istilah sekularisasi cukup mengecewakan banyak pihak, karena
istilah itu sendiri tidak berlaku dalam Islam dan hanya tumbuh dan berlaku
dalam kehidupan Kristen Barat. Karenanya, sekularisasi berhubungan erat dengan
sekularisme, sebab sekularisasi berarti penerapan sekularisme.
A. Definisi
Sekularisme
Istilah secular (bahasa inggris:
secularism) bermakna dunia, alam, atau realita. Dalam bahasa Arab, istilah
secular disebut al-almaniyyah. Sedangkan dalam bahasa latin, istilah secular
berasal dari kata soeculum yang berarti “alam’ dan diterjemahkan ke dalam
bahasa Yunani menjadi oeon, yang berarti masa atau sekala waktu.
Terdapat 2 periode
sekularisme. Pertama, intepretasi sekularisme yang berarti pemisahan
agama dan gereja dari urusan-urusan kemasyarakatan dan politik. Juga pembersihan
dogma ketuhanan gereja katholik, serta memurnikan diri dari hal-hal yang
bersifat rasional. Terminology sekularisme semacam ini muncul pada awalyang
dipahami oleh para filsof dan pemikir barat, seperti Hobbes, Locke, Leibnitz,
Rosseau, dan Lessince.
Kedua, pada periode ini sekularisme
tidak hanya sekedar dipahami seperti pada periode pertama, tetapi lebih dari
itu, mereka ingin mengubur agama, menghilangkan peranannya dalam menata sebuah
pranata kehidupan. Dengan kata lain, kaum secular ingin menghapus agama dari
atas muka bumi secara total.
- Sekularisme Islam
Jika berbicara sekulerisme dalam
konteks pemikiran Islam, tentu tidak akan terlepas dari terminology dan
kesejarahan sekularisme Barat. Di kalangan para pemikir Muslim sendiri terjadi
perbedaan persepsi untuk memahami sekularisme tersebut.
Sa’dah dan Arkoun termasuk kelompok
pemikir yang optimistis memandang paham sekularisme sebagai alternative. Namun,
banyak juga pemikir Islam yang pesimistis dengan paham secular ini, seperti
Muhamamad Imarah, Muhammad Yahya, dan Muhammad Mahdi Syams Al-Din. Keoptimisan
dan kepesimisan dalam memandang sekularisme ini lebih banyak dipengaruhi oleh
perbedaan dalam memahami pengertian secular secara terminology.
Menurut Muhammad Imarah,
karakteristik pemikiran secular adalah sebagai berikut:
- Menyamakan nash-nash Islam dengan karya manusia
- Agama adalah persoalan pribadi yang tidak
berkaitan dengan persoalan-persoalan social, politik, dan ekonomi.
- Adanya pertentangan antara konsep agama, ilmu
pengetahuan, dan teknologi.
- Adanya persepsi bahwa Barat adalah satu-satunya
alternative solusi untuk mencapai kemajuan dan kemodernan.
Secara konsep tradisonal, jelas
pemikiran secular ini tidak akan diterima, sebab terlihat ada upaya untuk
menjauhkan nilai agama dengan nilai-nilai kehidupan. Meskipun demikian, kita
mengenal beberapa tokoh pemikir islam yang lebih cenderung menggunakan
pendekatan sekularisme. Mereka adalah Thaha Husain, Salamah Musa, Fuad
Zakariya, Farag Fawdah, Nashr Hamid Abu Zaid, dan di Indonesia adalah Nurcholis
Majid.
2.4 Pemikiran Islam Liberal
Pandangan bahwa Islam dengan akidah
dan syariahnya harus mengikuti perubahan dan dinamika sejarah tanpa terkecuali
dikenal dengan pemikiran islam liberal. Dalam pemikiran islam liberal bukan
perubahan, zaman, dan sejarah yang harus mengikuti Islam melainkan sebaliknya.
Sebuah contoh kecil saja, keyakinan bahwa Islam adalah agama yang paling benar
harus dihilangkan karena tidak sesuai dengan perubahan zaman atau modernisasi.
Adalah gerakan liberalisasi yang
melahirkan pemikiran Islam liberal setelah gerakan ini berhasil meliberalkan
agama-agama yang hidup di Negara-negara barat yang menjadi yang menjadi korban
pertamanya pada abad ke-19 seperti Yahudi dan Nasrani. Kedua agama ini telah
lebih dulu diliberalkan. Maka, saatnya Islam sebagai agama yang pemeluknya
cukup banyak di dunia ini diliberalkan juga.
Dalam pemikiran Islam liberal, tidak
ada yang pasti, tegas, tetap, qat’i(jelas), semuanya harus mengikuti perubahan
sejarah dan modernisasi baik aqidahnya maupun syariahnya meskipun semua itu
bertentangan dengan agama manapun. Karena dunia kini dikuasai oleh pemikiran
liberalism yang menuntut kebebasan semua hal. Agama jika membatasi kebebasan
itu bisa diubah.
Dengan demikian menurut pemikiran
Islam liberal, Islam bukan lagi agama yang paling benar dan diridhlai Allah
S.W.T. sebab keyakinan itu bertentangan dengan paham liberalisme yang
melahirkan paham pluralism bahwa semua agama adalah benar tidak ada yang
salah. Bahkan, menurut paham pluralisme agama-agama yang dianut pada hakikatnya
adalah jalan-jalan yang berbeda menuju Tuhan yang sama, jadi tidak boleh merasa
menjadi agama yang paling benar dan diridhlai Tuhan.
Begitu pula dalam urusan syariah,
hukum-hukum yang sudah pasti (qat’i) bisa diubah jika tak sesuai dengan modernisasi.
Contohnya Wisky di Indonesia memang haram, tapi tidak di Rusia, sebab udara di
sana dingin.
Disamping itu yang membuat tak habis
pikir adalah para aktivis pemikiran Islam liberal justru bukan orang yang
belajar Islam kemarin sore, melainkan para pemimpin organisasi Islam atau
pemimpin di lembaga pendidikan Islam, tak jarang juga mantan santri yang
menguasai ilmu agama Islam secara mendalam dan telah belajar di Timur Tengah
dan Arab.
Pemikiran Islam liberal mulai
memasuki Indonesia sejak tahun 1970. Hal ini bisa diketahui dari buku Gagasan
Islam Liberal di Indonesia karya Graig Barton, yang menyebutkan paling tidak
ada tiga agenda liberal Islam di Indonesia, yaitu:
- Pentingnya kontektualitas dalam berijtihad
- Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan
- Komitmen terhadap pluralisme agama
Sejak 8 Maret 2001, pemikiran Islam
liberal di Indonesia telah dikoordinir menjadi sebuah jaringan yang dikenal
luas dengan nama Jaringan Islam Liberal (JIL) yang sekarang koordinatornya
adalah Luthf Assyaukani. JIL aktif sekali mengadakan acara diskusi, bedah buku,
kajian tokoh/karyanya, menerbitkan buku, dan kegiatan lainnya di bawah
Novriantoni Kahar.
Banyak sekali peminatnya terutama
dari kalangan dosen, peneliti, mahasiswa, di bilangan Utan Kayu. Tak jarang
pula JIL mengadakan diskusi di kampus-kampus dengan tema seputar pemikiran
Islam liberal atau tema actual lain.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Setidaknya ada dua segi yang
menyebabkan terjadinya perbedaan-perbedaan dalam pemikiran Islam. Segi yang
pertama ialah bahwa wahyu itu sendiri, baik Al-Qur’an maupun hadis, secara
redaksional mengandung kemungkinan dipahami secara berbeda dan sikap Nabi
Muhammad SAW. selaku pembawa wahyu yang tidak jarang mentoleransi
perbedaan-perbedaan tersebut. Sedang segi yang kedua, adalah bahwa banyak
faktor yang dapat mempengaruhi cara berpikir seseorang. Faktor-faktor tersebut,
antara lain, adalah sejarah (pengalaman) masa lampau, pendidikan/informasi yang
diserap, kondisi dan lingkungan hidup, dan lain-lain, yang dialami seseorang.
Kontroversi pemikiran dalam islam
sebenarnya berpijak dari konsep atau gagasan yang telah dikemukakan oleh para
pemikir yang beraneka ragam, terutama di warnai oleh bidang ilmu atau sudut
pandang masing-masing.
Perpaduan
antara pikiran yang brilian yang dipadu dengan hati yang jernih, akan
menjadikan Iptek yang dimunculkan kelak tetap terarah tanpa menimbulkan
dehumanisasi yang menyebabkan manusia teralienasi [terasing] dari
lingkungannya. Kegersangan yang dirasakan oleh manusia modern saat ini, karena
Iptek yang mereka munculkan hanya berdasarkan atas rasionalitas belaka, dan
menafikan hati atau perasaan yang mereka miliki. Mereka menuhankan Iptek atas
segalanya, sedang potensi rasa [ jiwa ] mereka abaikan, sehingga mereka merasa
ada sesuatu yang hilang dalam diri mereka. Keseimbangan antara pikiran [fikr] dan rasa [dzikr] ini menjadi
penting karena secanggih apapun manusia tidak dapat menciptakan sesuatu.
Keduanya adalah pilar peradaban yang tahan bantingan sejarah. Keduanya adalah
perwujudan iman seorang muslim. Umat yang berpegang kepada kedua pilar ini
disebut al Qur’an sebagai ulul albab. Mereka,
disamping mampu menintegrasikan kekuatan fikr dan dzikr, juga mampu pula mengembangkan kearifan yang
menurut al Qur’an dinilai sebagai khairan katsiran. Perpaduan antara pikiran
dan rasa ini merupakan prasyarat mutlak dalam membangun peradaban Islam dan dunia
yang cemerlang.
DAFTAR
PUSTAKA
e-book. Kumpulan Buku Karya Hartono Ahmad Jaiz
Yusran Asmuni, 1996, Dirasah Islamiah II Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan
Pemikiran, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Pemikiran dan Peradaban Islam. Diktat FIAI UII
artikel terkait; ,
Posting Komentar untuk "Contoh Makalah PAI Universitas BSI "